PEMBELAJARAN YANG MENYENANGKAN
(Perspektif Pendidikan Islam)
(Perspektif Pendidikan Islam)
Rasulullah saw sebagai figur sentral dalam Pendidikan Islam telah menyadari bahwa rasa tenang dan bahagia memainkan peran yang menakjubkan dalam diri seseorang, dan memberikan pengaruh yang kuat dalam jiwanya. Menanamkan kebahagiaan dan kenyamanan dalam diri seseorang akan menjadikan bakatnya teraktualisasi secara optimal. Rasulullah saw telah menunjukkan bagaimana kenyamanan jiwa menjadi jalan untuk menyingkap bakat dan melejitkannya. Banyak contoh dan teladan yang bias ditemukan tentang hal ini, khususnya pada era pengembangan Pendidikan Islam di Madinah.
Setelah Fath Makkah (penaklukan kota Makkah), Rasulullah saw memerintahkan Bilal naik ke atas Ka’bah untuk mengumandangkan adzan. Bilal pun mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya. Di sela-sela itu, sebagian kaum musyrikin Quraisy mengolok-olok dan menirukan suara Bilal dengan nada marah. Di antara mereka adalah Abu Mahdzurah al-Jumahi Salamah bin Mu’ir yang memiliki suara paling bagus. Ketika ia mengolok-olok adzan, Rasulullah saw mendengarnya, dan meminta agar yang bersangkutan dibawa ke hadapan beliau.
Sesampai di hadapan Nabi saw, Abu mahdzurah menduga bahwa ia pasti dibunuh. Namun yang terjadi tidaklah demikian, Nabi mengusap ubun-ubun dan dadanya dengan tangan beliau yang mulia. Abu Mahdzurah berkata, “Hatiku bergetar dan mulai dipenuhi dengan kekaguman dan keimanan, dan saat itu saya mengetahui dan meyakini bahwasanya beliau adalah Rasulullah saw,” lalu Rasul mengumandangkan adzan di depannya dan mengajarkan kepadanya, serta memintanya untuk mengumandangkan adzan begi penduduk makkah pada saat umur 16 tahun.
Dalam paparan di atas, ketika Rasul mengusap ubun-ubun dan dada Abu Mahdzurah, hal itu telah menjadikannya merasakan getaran keimanan, ketenangan dan kenyamanan psikologis, sehingga ia kemudian menjadi muadzin bagi penduduk Makkah. Dengan mewujudkan kenyamanan psikologis bagi anak, kecintaan, kelemahlembutan, dan perhatian kepadanya memungkinkan para pendidik untuk menyingkap bakat dan potensinya. Lalu, bagaimanakah cara Rasulullah saw dalam menanamkan kesenangan dan kebahagiaan dalam jiwa anak? Dari berbagai riwayat yang ada, bias diidentifikasi berbagai cara dan langkah yang telah beliau lakukan.
A. Memberikan Kemudahan dan Suasana Gembira.Prinsip ini dapat dijabarkan dari sabda Nabi Muhammad saw kepada sahabat beliau yang diutus untuk melakukan dakwah kepada Gubernur Romawi di Damaskus, yaitu Mu’adz Ibn Jabal dan Abu Musa al-Asy’ary, sebagai berikut:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَسِّرُوْا وَلاَتُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا (رواه البخارى
(Permudahlah mereka jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan membuat mereka menjauhi kamu. HR. Bukhari)يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ (البقرة: 185)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran”. (QS. Al-Baqarah: 185)Prinsip memberikan kemudahan ini tergambar juga dalam pengajaran Rasulullah saw kepada para sahabatnya. Prinsip memudahkan dan menciptakan suasana gembira dalam pembelajaran bias dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
1. Menciptakan Suasana AkrabAktifitas belajar membutuhkan peran akal dan hati, demi untuk menajamkan ingatan serta menggali materi pelajaran yang terpendam. Bila pembelajar mempunyai kejenuhan dalam berfikir dan menyerap pelajaran, maka hendaknya guru menggunakan ice-breaker di sela-sela belajar. Hal ini untuk mencairkan kejenuhan dan kebosanan yang terjadi di dalam kelas, dan supaya bias mengembalikan lagi semangat belajar siswa.
Beberapa manfaat menggunakan ice-breaker di sela-sela belajar, antara lain: bisa mengusir kebosanan dan kejenuhan; menyegarkan hati dan mengendurkan ketegangan; memberikan waktu rehat bagi guru; mengasah hati dan memberikan suasana baru untuk melanjutkan pembelajaran; dan merubah suasana kelas yang kering dan menegangkan menjadi santai. Hanya saja perlu dicatat, bahwa penyelipan humor atau permainan jangan sampai merugikan dan melecehkan siswa. Imam Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa humor yang dilarang adalah humor yang keterlaluan, karena hal itu dapat mengeraskan hati, lupa mengingat Allah swt, dan menyia-nyiakan waktu.” Sedangkan humor-humor yang selain itu boleh saja, karena Rasulullah saw juga pernah melakukan hal itu demi untuk kebaikan mukhatab dan supaya lebih terkesan familiar. Hal itu merupakan sunnah Nabi saw dan merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh guru ketika memberikan materi kepada anak didiknya.
Al-Ghazali berkata, “Jika kamu melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw, yaitu bercanda dengan kata-kata yang benar, tidak menyakitkan hati, tidak keterlaluan, serta tidak sering dilakukan, hal itu tidaklah berdosa. Akan tetapi kekhilafan manusia yang sangat fatal adalah ketika manusia terlalu sering bercanda dan keterlaluan bahkan malah mengaku-ngaku bahwa tindakan mereka itu juga berdasarkan dari tindakan Rasulullah saw”.
Menjadikan sebuah pembelajaran menjadi sesuatu yang menyenangkan adalah sangat penting, karena belajar yang menyenangkan merupakan kunci utama bagi individu untuk memaksimalkan hasil yang akan diperoleh dalam proses belajar. Bobbi De Porter dan Mike Hernacki mengangkat hal tersebut sebagai falsafah dasar yang harus dikembangkan dalam pembelajaran. Pembelajaran akan efektif, bila proses dan pelaksanaannya dilakukan dengan menyenangkan. Senada dengan falsafah diatas, maka Al-Syaibany, seorang pakar Pendidikan Islam, memandang bahwa sangat penting membuat aktivitas pendidikan menjadi suatu proses yang menggembirakan dan menciptakan kesan baik pada diri pelajar. Pendapat ini berlandaskan firman Allah swt:
قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِيْنَ أَسْرَفُوْا عَلى اَنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوْا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ ... (الزمر: 53)
Artinya: Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah swt”. (QS. Az Zumar [39]: 53)
Al-Syaibany menafsirkan ayat di atas sebagai berikut: “Katakanlah wahai hamba-Ku yang berlebih-lebihan terhadap diri mereka, jangan kamu putus asa dari rahmat Allah swt. Sesungguhnya amal yang paling disukai Allah swt adalah memasukkan kegembiraan di hati mukmin.” Penjelasan Al-Syaibany ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw yang menyatakan bahwa menggembirakan hati orang beriman adalah merupakan sebuah perbuatan yang bernilai tinggi.
“Manusia yang paling dicintai Allah swt ialah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Perbuatan yang paling utama ialah memasukkan rasa gembira ke dalam hati orang yang beriman.”
Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl juga mengangkat hal ini sebagai salah satu filosofi Accelerated Learning. Syarat bagi pembelajaran yang efektif, menurut mereka adalah dengan menghadirkan lingkungan “seperti masa kanak-kanak”, yang mendukung dan menggembirakan.
Pandangan ini dipromosikan oleh seorang ahli psikologi terkenal, Mihaly C., yang selama lebih dari 20 tahun mengkaji apa yang disebut “aliran”, yaitu keadaan konsentrasi yang mengantarkan pada pengalaman yang optimal, suatu kesadaran yang demikian terfokus sehingga pelakunya terserap penuh dalam suatu kegiatan. Ini terjadi ketika seseorang menikmati perasaan yang sangat nyaman tanpa keterpaksaan dan menjalankan kegiatan dengan puncak kemampuannya. Apabila proses belajar mengajar menggembirakan, maka motivasi akan tinggi. Itulah sebabnya mengapa peran lingkungan sangat penting dan mengapa guru harus memperlihatkan antusiasme mereka kepada anak didik.
Sejalan dengan konsep pemikiran di atas, seorang pemikir muslim, Dr. Saleh Muntasir, menegaskan bahwa dalam penyampaian materi pelajaran hendaknya seorang guru (pendidik) menghindarkan ketegangan dan suasana yang menakutkan pada anak didik. Berikan mereka latihan-latihan (practice) yang intensif, contoh dan tingkah laku yang baik, serta tumbuhkan partisipasi siswa dalam pembelajaran. Untuk mencapai tujuan-tujuan belajar dengan mudah, maka lingkungan kelas harus ditata sedemikian rupa menjadi lingkungan yang kondusif, yang dapat mempengaruhi siswa secara positif dalam belajar. Lingkungan belajar yang kondusif dan menumbuhkan motivasi siswa dalam belajar, penyajian bahan pelajaran dapat disuguhkan dengan penuh makna serta member kesan tersendiri kepada siswa.
2. Komunikasi yang Ramah
Sikap ramah ditunjukkan dalam ucapan yang lembut, tindakan dan sikap yang memudahkan. Jwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kemarahan, kelemah-lembutan, tutur kata yang halus serta jauh dari kekerasan dan kekasaran. Oleh karena itu, sebainyalah seorang guru memperhatikan hal ini dan mengaplikasikan-nya kepada anak didiknya. Bersikap kasar bagi seorang guru merupakan hal yang fatal dan membahayaan, apalagi terhadap anak didik, karena hal itu dapat mencetak kepribadian yang buruk. Artinya, jika seorang guru mengajar dengan kekerasan terhadap anak didik, maka hal itu bisa membuat anak didiknya patah semangat, tidak aktif, malas dan senang berbohong.
Di antara sifat ramah yang diteladankan Rasulullah saw terhadap para sahabatnya adalah seperti dalam riwayat berikut:
Anas ra. berkata, “Ketika kami sedang berada di Masjid bersama Rasulullah saw tiba-tiba datang seorang Badui, lalu ia kencing berdiri di dalam Masjid. Lalu para sahabat itu menegurnya: Pergi…!!! Pergi…!!! Lalu Rasulullah saw berkata, “Jangan memotong kencingnya, panggilah dia!”. Para sahabat yang ada di situ akhirnya meninggalkannya, sehingga orang Badui itu melanjutkan kencingnya. Kemudian Rasulullah saw memanggilnya dan berkata kepadanya,”Ini Masjid! Tidak baik untuk dikencingi atau pun sesuatu yang kotor, seharusnya Masjid adala tempat untuk berdzikir kepada Allah swt, untuk shalat dan untuk membaca al-Qur’an”. Anas melanjutkan, “Beliau lalu menyuruh seorang dari kaum itu untuk membawakan seember air dan menyiramnya”. Anas berkata, “Setelah mengerti, orang Badui itu lalu berkata, “Demi bapakku dan ibuku! Beliau tidak mencela, tidak marah dan tidak memukul”.
Hadis ini menjelaskan tentang sikap lembut dan ramah Nabi saw terhadap orang Badui yang kencing di Masjid, serta cara beliau memberi pelajaran yang baik unutknya. Perlakuan itu diberikan karena orang Badui tersebut masih buta hokum, sehingga Rasulullah saw tidak bersikap keras kepadanya, serta tidak mencelanya, tetapi beliau memanggilnya dan mengajarkan kepadanya suatu keramahan yang belum pernah dialaminya. Setelah orang Badui itu mengerti, sikap itu ia gambarkan dengan ucapan, “Demi bapakku dan ibuku! Beliau tidak mencela, tidak marah dan tidak memukul”. Kalimat tersebut merupakan bukti bahwa orang Badui itu terkesan atas keramahtamahan dan cara pengajaran Nabi saw yang baik.
3. Kehalusan dan Kelembutan (dalam ucapan dan perilaku)
Firman Allah swt:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ فَعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ ... (ال عمران: 159)
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,…” (QS. Ali 'Imran [3]: 159)
Mengucapakan perkataan kotor dan mencaci orang lain merupakan tindakan yang tidak disukai dan harus dihindari, lebih-lebih oleh seorang guru yang menjadi teladan bagi anak didiknya. Jika seorang guru mengucapkan kata-kata kotor dan menyakitkan, meskipun dalam akadar yang kecil saja, maka hal itu sudah merupakan aib baginya, apalagi jika ia melakukan dalam skala yang lebih luas. Bagaimana pun, ucapan seorang guru pasti akan mempengaruhi anak didiknya, positif maupun negative. Perkataan yang kotor dan penghinaan akan berdampak negative bagi anak didiknya, bahkan bisa merusak jiwanya.
4. Memperlakukan Anak dengan Kasih sayang
Abu Hurairah telah menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah saw mencium al-Hasan, sedang di hadapan beliau saat itu terdapat al-Aqra’ ibnu Haabis yang sedang duduk, lalu al-Aqra’ berkata: “Sesungguhnya saya punya sepuluh orang anak, tetapi saya belum pernah mencium seorang pun di antara mereka.” Rasulullah saw memandang ke arahnya dan bersabda:
مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمْ (رواه البخارى)
“Barang siapa tidak punya rasa kasih sayang, niscaya tidak akan dikasih sayangi”.Tsabit telah meriwayatkan dari Anas yang telah menceritakan bahwa Nabi saw mengambil putranya, Ibrahim, lalu menciumi dan membelainya. Di antara anjuran Nabi kepada para ayah untuk menyayangi anak-anak mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas. Disebutkan bahwa pernah ada seorang wanita datang kepada ‘Aisyah, lalu ‘Aisyah memberinya tiga butir kurma. Wanita itu pun memberikan kepada kedua anaknya masing-masing sebiji kurma dan sisanya untuk dirinya sendiri. Buah itu langsung dimakan oleh kedua anaknya, lalu keduanya memandang kepada ibunya, maka sang ibu memahami anaknya, lalu membelah sebiji buah kurma itu menjadi dua bagian dan memberikan kepada masing-masing dari dua anaknya itu separoh buah kurma. Kemudian Nabi saw datang dan ‘Aisyah menceritakan peristiwa itu kepadanya, maka Nabi saw bersabda:
وَمَا يُعْجِبُكَ مِنْ ذَلِكَ لَقَدْ رَحِمَهَا اللهُ بِرَحْمَتِهَا صَبِيِّيْهَا (رواه البخارى)
“Mengapa kamu mesti heran dengan sikapnya? Sesungguhnya Allah swt telah merahmatinya karena kasih sayangnya kepada kedua anaknya itu.” (HR Bukhori)5. Bercengkerama dengan anak
Banyak riwayat yang menunjukkan sikap Nabi saw yang amat toleran terhadap anak. Beliau sering menyapa anak-anak dari sahabat-sahabatnya. Beliau sering menggendong al-Hasan dan al-Husain di pundaknya. Beliau suka mencium, bercengkerama dan bermain dengan mereka. Misalnya, suatu saat Nabi saw sedang berbaring, tiba-tiba al-Hasan dan al-Husain datang, lalu keduanya bermain-main di atas perutnya. Keduanya sering menaiki punggung beliau saat beliau sedang sujud dalam shalatnya, bahkan beliau pernah merangkak, sedang al-Hasan dan al-Husain menaiki punggungnya, lalu bersabda:
“Sebaik-baik unta adalah unta kalian berdua, dan sebaik-baik penunggang adalah kalian berdua.” (HR. Bukhari)
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi saw pernah menimang-nimang al-Hasan dan al-Husain seraya mendengarkan nyanyian yang artinya: “Hai kecilku, hai kecilku, naiklah, hai si mata kecil!” sang anak pun menaiki tubuhnya dan meletakkan kedua kakinya di atas dada beliau yang dalam posisi terlentang. Dalam hadits ini terlihat Rasulullah saw bermain dan menimang-nimang al-Hasan dengan kedua tangannya dan menaikkannya ke dadanya sembari mengucapkan kata-kata: “Naiklah, hai kecilku, keatas dadaku! Naiklah, hai si mata kecil yang lucu!”
Dengan bercengkerama dan sikap lemah lembut kepada anak serta menyesuaikan diri dengan berpura-pura menjadi anak kecil yang sebaya dengannya, beliau menyalurkan kehangatan dan kasih saying yang tulus kedalam jiwa anak-anak, agar nanti bila besar tidak tumbuh menjadi orang yang berhati kecil, keras, dan kejam.
B. Menciptakan Lingkungan Belajar yang Kondusif
Lingkungan yang kondusif unutk belajar adalah lingkungan yang relaks, lingkungan yang aman unuk melakukan kesalahan, namun harapan untuk sukses tinggi. Sebagai agama yang sangat memperhatikan pada pendidikan, Islam sering menggunakan metode pemberian suasana sesuai tempat dan waktu tertentu. Misalnya, Allah swt menunjkkan bahwa memeluk Islam itu tidak melalui paksaan melainkan atas dasar kesadaran dan keikhlasan, sesuai dengan firman-Nya:
“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” (QS. Al-Baqarah[2]:256)
Islam bukanlah agama yang mempersulit kehidupan manusia, melainkan mempermudah kehidupan mereka. Dalam kemudahan itu Allah swt senantiasa mendorong manusia untuk bekerja keras, seperti dalam dalam firman-Nya:
“Dan bekerja keraslah (berjihadlah)kamu pada jalan Allah swt dengan sungguh-sungguh. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj []: 78)
Allah swt memerintahkan agar orang-orang yang telah beriman digembirakan dengan gambaran kehidupan akhira (surga) yang serba membahagiakan.
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surge-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.” (QS. Albaqarah [2]: 25)
Ada tiga prinsip yang bisa dipahami dari ayat-ayat al-Qur’an di atas, yaitu prinsip tidakmemaksa, memudahkan dan menggembirakan. Ketiga prinsip itu juga bisa diterapkan dalam dunia pendidikan. Sebagaimana Ibnu Abdun pernah menasihatkan bahwa mengajar itu memerlukan pengertian, pengalaman, dan kehalusan hati. Ibnu Jamaah menasihatkan agar guru jangan mengajar pada waktu lapar, haus, sedih, marah, atau tidak tenang fikirannya. Pelajaran yang diberikan jangan terlalu lama, sehingga menjemukan atau bahkan terlalu singkat. Kemampuan pembelajar harus diperhatikan, janganlah suaranya terlalu keras atau terlalu lemah, sehingga tak terdengar.
Dalam iklim pembelajaran yang kondusif, kesalahan-kelasahan yang diperbuat oleh siswa tidak membuat ia disudutkan, atau bahkan dianggap bodoh, tetapi kesalahan-kesalahan siswa itu dipandang sebagai umpan balik (feedback). Guru yang baik akan berkata seperti ini: “Sebenarnya bukan kesalahan itu yang saya fikirkan, tetapi bagaimana kamu sampai pada kesimpulan seperti itu?” Dengan kata lain, lebih penting memfokuskan diri pada proses berpikir ketimbang pada jawaban siswa, karena lebih penting mendapatkan pendekatan yang benar dari pada satu jawaban tertentu saja. Guru seharusya mendorong mendorongpara siswa menganalisis kesalahan–kesalahan mereka unutk melihat apakah ada suatu kecenderungan untuk melakukan kesalahan-kesalahan serupa di waktu yag akan datang. Setelah itu, kesalahan-kesalahan lalu diperbaiki dengan penuh kesadaran oleh siswa sendiri, disertai pemahaman atas jawaban dan alternatif yang benar. Dengan begitu, diharapkan prestasi dan nilai para siswa akan meningkat.
Dalam kajian mengenai cara belajar ini, Gordon Wells menyimpulkan, bahwa bila anak-anak diharapkan melakukan transisi dengan mudah dan percaya diri, mereka haruslah mengalami lingkungan sekolah sebagai sesuatu yang menggairahkan dan menantang. Dalam lingkungan ini, sebagian besar hasil usaha merea harus berhasil, sehingga mendapat pengakuan dan penghargaan terhadap apa yang dapat mereka lakukan. Anak-anak yang merasa (atau dibuat merasa) tidak diterima, tidak dapat pengakuan, dan tidak kompeten akan sulit memupuk rasa percaya dirinya, dan akibatnya kemampuan mereka untuk memanfaatkan kesempatan belajar sangat rendah, dan bahkan tidak ada sama sekali.
Ketika seorang anak pertama kali mencoba bersepeda tanpa roda-roda bantuan dia terlihat asyik dan merasa sangat senang. Perasaan itu juga dialami hamper disetiap orang. Momen tersebut merupakan contoh belajar yang menggembirakan yang begitu sering terjadi dalam masa kanak-kanak. Anak-anak berusia dua tahun belajar dengan cara melakukan, menguji, menyentuh, membaui, berayun-ayun, berbicara, bertanya dan mencoba-coba. Seua itu dilakukan dengan kecepatan yang mengagumkan. Mereka sangat mudah diarahkan, dan menyerap informasi dari segala hal yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Akan tetapi, begitu mereka menyelesaikan TK, pendidikan sering mulai membosankan. Keasyikannya berangsur-angsur sirna. Perasaan gembira mulai terputus dari belajar, dan belajar menjadi pengalaman yang datar.
Pada umumnya pembelajaran di SD,anak-anak tidak dikondisikan untuk mengeksplorasi, berdiskusi, bertanya, atau berpartisipasi. Mereka lebih sering diperintahkan untuk duduk manis, dalam barisan bangku yang lurus, mendengarkan dan memperhatikan guru. Ketika di SMP (saat siswa “dipersiapkan” untuk masuk di SMA) mereka mulai dibebani dengan “kerja keras” dan “bersikap serius” dalam situasi belajar di sekolah. “Dengarkan perintah, jangan berbicara sampai diminta, duduk di tempat, jangan mengobrol, …”, inilah ungkapan-ungkapan guru yang hampir selalu mereka dengar di kelas setiap hari.
Guru yang baik tentu tahu bahwa hal ini bukanlah lingkungan yang baik dalam belajar. Oleh karena itu, mereka menyiapkan ruang kelas yang menyediakan fasilitas belajar yang menyenangkan. Mereka menggunakan bunga-bungasegar untuk menciptakan aroma dan aneka warna. Mereka menghiasi dinding dengan berbagai poster berwarna, menyuguhkanseluruh poin penting yang harus dipelajari, dalam bentuk kata-kata maupun gambar, karena mereka tahu, proses belajar banyak berlangsung di pikiran bawah sadar. Siswa menyerap bahan pelajaran tanpa memikirkannya secara sadar. Semua itu sangat berlawanan dengan landasan belajar yang sebenarnya, yakni ada unsure ketakjuban, penemuan, permainan, menanyakan sejuta pertanyaan, terlibat di dalamnya dan kegembiraan. Ketakjuban dan kegembiraan adalah alat belajar asli setiap orang.
Stockwell, seorang pelatih terkemuka dalam pendidikan dan bisnis gaya baru di Eropa, asal Liechtenstein, mengatakan bahwa poster berwarna yang didesain dengan baik itu sangatlah penting. “Slide OHP, slide 35 mm, dan flipchart memang bagus,” katanya, “tetapi poster lebih bagus, dan semuanya harus dipasang di dinding sebelum proses belajar dimulai. Poster adalah perangsang periferal. Kehadirannya yang konstan di ruang kelas akan menyampaikan muatannya ke dalam memori siswa, walaupun siswa tidak menyadarinya.” Dia jga menekankan pentingnya psikologi warna. “Merah adalah warna peringatan, birru melambangkan kesejukan, kuning warna kecerdasan, hijau dan coklat memiliki efek menenteramkan, hangat, dan ramah. Jangan lupa bahwa poster yang efektif dapat membuat kesan yang kuat di dalam memori jangka panjang. Mereka menciptakan gambaran memori yang dapat dipanggil kembali ketika dibutuhkan, walaupun itu tidak pernah dipelajari secara sadar.”
Anne Forester dan Margaret Reinhard, dua guru dari Kanada, dalam buku mereka yang berjudul, The Learners’ Way, berbicara tentang “menciptakan sebuah iklim yang menyenangkan” di setiap ruang kelas. Mereka mengatakan bahwa variasi, kejutan, imajinasi, dan tantangan sangatlah penting dalam menciptakan menciptakan iklim tersebut. “Mendatangkan tamu yang mengejutkan, melakukan perjalanan spiritual, kunjungan lapangan, program spontan untuk menambah pengayaan, di samping membaca, menulis dan diskusi.
Selain itu, dianjurkanjuga memanfaatkan musik untuk menciptakan suasana yang kondusif di ruang-ruang kelas. Christer Gudmundsson, seorang guru terkemuka di Swedia, menguatkan, “Suasana sejak siswa-siswa Anda memasuki ruang kelas haruslah benar-benar menyenangkan.” Charles Schmid, seorang perintis metode-metode pengajaran baru dari San Fransisco, California, mendapati bahwa musik pencipta suasana merupakan salah satu kunci utama untuk mencapai kecepatan belajar. “Dan ini dapat diterapkan di mana saja, dari prasekolah dampai perguruan tinggi, bahkan seminar bisnis yang mengajarkan teknologi komputer.
Bila hal-hal di atas bisa dilaksanakan, maka ruang-ruang kelas tidak akan pernah sepia tau membosankan. Kebersamaan dan interaksi adalah komponen vital dari iklim yang menyenangkan. Penemuan, pembelajaran gaya baru, dan kegirahan mencapai prestasi menuntut ekspresi yang meyakinkan. Jika “iklim keasyikan” tersebut mampu dihadirkan oleh guru, maka begitu memasuki ruang kelas, makapara siswa akan merasakan suasana kondusif untuk proses belajar.
Dalam Pendidikan Islam, upaya menciptakan lingkungan dan suasana belajar yang kondusif ini, ditunjukkan Rasulullah saw dengan senantiasa memperhatikan waktu dan kondisi yang tepat dalam meyampaikan pengajarannya, yakni disesuaikan dengan waktu dan kondisi belajar. Hal ini beliau lakukan agar mereka tidak bosan. Beliau juga selalu berusaha menjaga tujuan dan keseimbangan dalam proses pengajarannya. Penerapan hal itu, bisa dilihat dari riwayat-riwayat berikut:
1. Memilih waktu yang tepat dan memperhatikan keadaan pembelajar (sahabat)
Imam Muslim di dalam kitab shahihnya meriwayatkan dari al-A’masy, dari Syaqiq Abu Wail, di aberkata:
“Pada suatu saat kami tengah duduk menunggu di samping pintu rumah Abdullah ibn Mas’ud, Yazid ibn Mu’awiyah al-Nakha’i lewat di dekat kami, maka kami berkata: Tolong beritahu Abdullah bin Mas’ud bahwa kami menungguinya. Maka dia pun menyampaikannya, sehingga tidak berapa lama kemudian Abdullah ibn Mas’ud keluar menemui kami, lalu berkata: ‘Aku telah diberitahu bahwa kalian menunggu. (Sebenarnya aku telah mengetahui kedatangan kalian) namun aku khawatir saat ini kalian akan merasa bosan. Karena, sesungguhnya Rasulullah saw sendiri selalu memilih waktu dan memperhatikan keadan kami (sebelum menyampaikan pelajaran), sehingga tidak setiap hari beliau menasehati (mengajar) kami lantaran khawatir kami akan merasa bosan.”
2. Mengajar secara selektif dan disesuaikan dengan kemampuan peserta didik.
Ahmad dalam kitab Musnadnya meriwayatkan dari ‘Abdullah bn ‘Amr bin al-‘Ash, ia berkata:
“Ketika kami sedang berkumpul bersama Nabi, seorang pemuda datang dan menanyakan sesuatu kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah saw, bolehkah saya mencium (istri saya) ketika saya sedang berpuasa?’ Nabi menjawab: Tidak boleh. Setelah itu datang seorang laki-laki tua dan bertanya tentang hal yang sama: ‘Bolehkah saya mencium (istri saya) ketika saya sedang berpuasa?’ Nabi menjawab: Ya boleh. Kami pun saling berpandangan (merasa heran), Rasulullah saw pun lalu menjelaskan: ‘Saya tahu kenapa kalian saling berpandangan. (Ketahuilah) Sesungguhnya orang tua itu lebih dapat mengekang hawa nafsunya (hasrat seksual).”
Dalam kaitan ini, Al-Thusi berkata, “Seorang subyek didik tidak bisa memperoleh sesuatu yang tidak ia pahami. Karena itu, seorang guru pun harus mengawali aktivitas belajar dari hal yang paling dekat dengan pengetahuan dan pemahaman subyek didik. Dan hendaknya juga guru membatasi diri mengajarkan materi yang sesuai dengan kadar pemahaman subyek didiknya. Ia tidak boleh mengajarkan materi materi di luar kemampuan nalar subyek didik, sehingga bisa menjadikannya putus asa atau semakin bebal”.
C. Menarik Minat
Dalam menggugah minat anak didik diperlukan pembukaan yang menarik dalam langkah-langkah mengajar agar perhatian dan minat mereka bisa terfokus kepada materi yang akan disampaikan guru. Pengalaman dan pelajaran yang telah diserap dalam pikiran mereka, dihubungkan dengan hal-hal baru yang tidak disajikan, merupakan jembatan yang menghubungkan pengertian-pengertian yang telah terbentuk dalam pikiranmereka, sehingga akan mempermudah daya tangkap terhadap hal-hal baru yang diajarkan oleh guru.
Dalam pembelajara, upaya menarik perhatian bisa dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melakukan komunikasi terbuka.
Dalam penerapannya, seorang guru hendaknya selalu mendorong anak didik untuk membuka diri terhadap segala hal atau bahan-bahan pelajaran yang disajikan mereka, sehingga mereka dapat menyerap menjadi bahan apersepsi dalam pikirannya.
Dalam Al-Qur'an terdapat banyak firman Allah swt yang mendorong manusia untuk membuka hati, pikiran, perasaan, pendengaran, dan penglihatannya untuk menyerap pesan-pesan yang difirmankan Allah swt kepada mereka.
وَلَقَدْ ذَرَاءْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْراً مِّنَ الْجِنِّ والْاِنْسِ لَهُمْ قُلُوْبٌ لاَّ يَفْقَهُوْنَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّيُبْصِرُوْنَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لاَّيَسْمَعُوْنَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ…..
(الاعراف: 179)Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.
(QS. Al A'raaf [7]: 179)
Dan dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan praktis, Allah swt berfirman:
وَلاَتَقْفُ مَالَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً ( الإسرآء : 36)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. 017. Al Israa' [17]: 36)2. Memberikan pengetahuan baru.
Minat dan perhatian anak didik harus diarahkan kepada bahan-bahan pengetahuan yang baru bagi mereka. Dalam ajaran Islam terdapat prinsip pembaruan dalam belajar, baik tenatang fenomena-fenomena alamiah maupun fenomena yang terdapat dalam diri mereka sendiri. Seperti studi tentang alam sekitar yang mengandung ilmu-ilmu baru, misalnya biologi, fisika, astronomi, mineralogy, botani, kimia, klimatologi dan zoologi, menurut pembaruan dari hasil studi para ilmuwan di bidang masing-masing, terutama dikaitkan dengan kecanggihan dan teknologi modern saat ini. Misalnya, friman Allah swt berikut:
إِنَّ فِى خَلْقِ السَّموَاتِ وَاْلاَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِى تَجْرِى فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ أَنْزَلَ اللهُ مِنَ السَّمَآءِ مِنْ مَّآءٍ فَأَحْيَابِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَآبَّةٍ وَتَصْرِيْفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِبَيْنَ السَّمَآءِ وَالْاَرْضِ لَآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ (البقراة: 164)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 164)Juga firman Allah swt yang mendorong manusia untuk menciptakan ilmu-ilmu alam, biologi dan psikologi, seperti berikut ini:
سَنُرِيْهِمْ ءَايَاتِنَا فِى لْأَفَاقِ وَفِى أَنْفُسِهِمْ حَتّى ييَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ... (فصلت : 53)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar.” (QS. Fushshilat [41]: 53)3. Memberikan model perilaku yang baik.
Anak didik dapat memperoleh contoh bagi perilakunya melalui peniruan yang tepat dala proses belajar mengajar, misalnya seperti firman Allah swt:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ الْأَخِرَ ... ( الاخزاب: 21 )
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.“ (QS. 033. Al Ahzab [33]: 21)Masih banyak Hadits atau Sunah Nabi yang menunjukkan bahwa beliau mengajar dengan prinsip memberikan model untuk ditiru.
D. Menyajikan Materi yang Relevan
Menjamin bahwa subyek pelajaran adalah relevan sangatlah penting, karena siswa ingin belajar ketika dia melihat manfaat dan pentingnya subyek pelajaran itu. Pembelajaran yang berdasarkan prinsip bermakna, menjadikan anak didik menyukai dan bergairah untuk mempelajari bahan pelajaran yang diberikan oleh guru. Dengan perasaan suka tersebut proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan lancar, karena anak didik menyadari bahwa yang dipelajari dari gurunya terdiri dari bahan-bahan ilmu pengetahuan yang akan memberikan makna bagi hidupnya lebih lanjut.
Jadi, guru lebih dulu menyadarkan anak didik bahwa bahan pelajaran itu akan memberi nilai tambah, baik mental atau professional kepada mereka dalam berbagai situasi dan kondisi kehidupannya, misalnya mempelajari keterampilan bekerja dalam berbagai bidang pekerjaan dapat dipakai untuk mencari rezeki yang halal. Juga sikap mental yang positif terhadap pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang tertentu dapat memperlancar perkembangan kemampuannya lebih lanjut dalam kehidupannya sebagai orang dewasa yang berpendidikan sekolah, seperti sikap mental akademis yang cenderung kea rah pengembangan ilmu dan teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat, sehingga mereka dapat memperoleh rezeki yang halal dari Tuhan.
Prinsip relevansi, dalam arti memberi bekal anak didik dengan ilmu pengetahuan yang mengacu pada perkembangan masa depan kehidupannya sangatlah penting. Hal ini penting karena, seperti ditulis oleh ‘Atiyah al-Abrasyi, anak didik itu lahir pada era yang berbeda dengan zaman yang dialami oleh penidiknya.
عَلِّمُوْا اَوْلاَدَكُمْ فَاِنَّهُمْ مَخْلُوْقُوْنَ لِزَمَنٍ غَيْرَ زَمَانِكُمْ
“Didiklah anak kalian dengan pendidikan yang berbeda dengan yang diajarkan padamu, karena mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda dengan zaman kalian.”Menunjukkan bahwa materi pelajaran itu relevan dan penting bisa dilakukan dengan beberapa cara, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Visualisasikan Tujuan Pembelajaran
Visualisasi merupakan teknik pembelajaran yang sangat berguna. Seorang guru yag tidak efektif memungkinkan akan mengatakan, “Jangan lupa belajar atau kalian akan mendapat nilai jelek dalam ujian mendatang”, sebuah pesan negative. Eric Jensen menyarankan dua cara yang lebih baik. Pertama, mendorong para siswa untuk memvisualisasikan secara tepat bagaimana mereka akan memanfaatkan pengetahuan baru mereka di masa depan. Kedua, menanamkan pikiran positif yang mendorong mereka untuk membaca buku pelajarannya guna mencari jawaban tertentu yang mungkin dapat dipergunakan di masa depan.
Menanamkan informasi pada memori menetap mensyaratkan pada siswa untuk memahami implikasi dan signifikansi makna seutuhnya, dengan secara seksama mengeksplorasi bahan subyek yang bersangkutan. Ada perbedaan besar antara “mengetahui” dan “memahami benar-benar” sesuatu. Mengubah fakta ke dalam makna pribadinya adalah unsure pokok dalam proses belajar. Selama ini, seringkali siswa hanya didorong untuk mengingat informasi tanpa ada usaha nyata untuk memahami makna sebenarnya dari informasi itu.
Fakta tidak banyak membutuhkan interpretasi. Itulah sebabnya mengapa pilihan-berganda adalah metode yang lemah untuk menguji hasi belajar. Model tes semacam itu hanya untuk menguji sejauh mana fakta sudah berhasil diperoleh. Tetapi, model itu tidak menguji apakah siswa berhasil menginternalisasikan maknanya bagi dirinya sendiridari fakta yang diketahui. Ini mengharuskan siswa merespons dan mengeksplorasi berbagai referensi dan informasi, mengerti serta memahaminya.
Keterampilan seperti itulah yang akan dihargai tinggi dalam masyarakat. Perbedaan antara penemuan fakta dan “penciptaan makna” adalah yang membedakan antara pengetahuan yang dangkal dan pengetahuan yang mendalam. Mengubah fakta menjadi makna adalah gelanggang di mana kedelapan kecerdasan siswa berperan aktif. Setiap jenis kecerdasan adalah sumber daya yang bisa diterapkan ketika mengeksplorasi dan menginterpretasikan fakta-fakta dari subjek pelajaran.
2. Meyakinkan Peserta didik atas Pentingnya Materi
Rasulullah saw sering kali memulai pembicaraan dengan bersumpah “Demi Allah swt”. Ini sebagai peringatan beliau kepada para sahabat akan pentingnya masalah yang hendak beliau ajarkan, dan untuk memperkuat suatu hokum. Beberapa hadits tentang hal tersebut, anatara lain:
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah saw pernah bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya kalian tidak akan masuk surge sehingga kalian beriman, dan kalian tidak beriman sehingga kalian saling mencintai sesame. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang apabila kalian kerjakan, kalian akan saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam di antara kalian.
3. Mengulang Penjelasan untuk Memperkuat Materi yang disampaikan
Rasulullah saw seringkali mengulangi perkataan sebanyak tiga kali. Hal itu beliau lakukan untuk memperkuat materi yang disampaikan, serta untuk mengingatkan tentang pentingnya kandungan materi yang akan disampaikan tersebut, sehingga mereka dapat lebih memahami dan menyempurnakannya.
a. Annas ra. berkata: “Sungguh, apabila Rasulullah saw mengatakan suatu kata, maka beliau (seringkali) mengulanginya sampai tiga kali hingga perkataannya itu dapat dipahami oleh para sahabat.”
b. Abdullah bin ‘Amr ra. berkata: “Rasulullah saw pernah tertinggal dalam suatu perjalanan yang kami lakukan. Kemudian beliau menyusul kami (dan sungguh saat itu kami sudah hampir melaksanakan shalat Ashar dan kami sedang berwudhu). Ketika kami tengah membasuh kaki, beliau mengatakan sesuatu dengan suara yang sangat keras sebanyak 2-3 kali: “Kecelakaanlah (neraka) bagi tumit-tumit.”
E. Melibatkan Emosi Positif dalam Pembelajran
Melibatkan emosi positif, seperti rasa senang, sangat penting untuk keberhasilan pembelajaran. Hal ini bisa dilihat dari 2 konsep (teori) berikut:
1. Konsep Triune
Prinsip ini sesuai dengan teori otak triune yang banyak dibahas oleh teori-teori era Quantum. Teori ini menyatakan, bahwa informasi yang memasuki otak akan menuju otak tengah. Otak tengah berfungsi sebagai semacam pusat pengarah. Jika memutuskan informasi penting, ia mengalihkan informasi tersebut ke “otak berpikir”. Fungsi otak tengah ini tak hanya sebuah “pusat pengarah”, tetapi juga bagian otak yang mengendalikan emosi. Jadi, jika informasi baru disampaikan dalam cara yang menyenangkan, maka seseorang dapat belajar dan mengingat dengan baik. Jika hal yang dipelajari memasukkan unsure warna, ilustrasi, permainan, dan iringan lagu, emosi terlibat secara positif sehingga orang akan belajar lebih baik.
Namun, jika yang hadir adalah rasa takut atau emosi negatif, maka “otak tengah” meredam informasi yang datang. Ketika seseorang sedang stress, informasi mungkin tak akan pernah mencapai otak berpikirnya. Informasi itu malah tersaring. Itulah yang terjadi saat otak tiba-tiba terasa kosong, otak menurunkan taraf berpikir ke yang lebih primitif. Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak itu kurang dari yang dibutuhkan untuk “merekatkan” pelajaran kedalam ingatan. Ketika otak menerima ancaman atau tekanan, kapasitas saraf untuk berfikir rasional mengecil. Otak dibajak secara emosional menjadi mode “bertempur atau kabur” dan beroperasi pada tingkat bertahan hidup. Jadi, kunci belajar efektif adalah mencapai suasana hati yang tenang dan positif, sebelum mulai belajar.
Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak itu kurang dari yang dibutuhkan untuk “merekatkan” pelajaran kedalam ingatan. Ketika otak menerima ancaman atau tekanan, kapasitas saraf untuk berfikir rasional mengecil. Otak mengambil sikap “bertempur atau kabur” dan beroperasi pada tingkat bertahan hidup. Ketersediaan hubungan dan kegiatan saraf benar-benar berkurang atau sangat mengecil dalam situasi ini, dan otak tidak dapat mengakses Higher Order Thinking Skills (HOTS), Keterampilan berpikir Orde Tinggi. Fenomena ini, dikenal sebagai downshifting, merupakan reaksi psikologis yang dapat menghentikan proses belajar, karena saat itu kemampuan belajar mahasiswa benar-benar berkurang. Untungnya, otak dapat juga melakukan hal sebaliknya. Dengan tekanan positif, dikenal sebagai eustress, otak dapat terlibat secara emosional, dan memungkinkan kegiatan saraf maksimal. Milhaly C., seorang psikolog dari Universitas Chicago menyebut hal itu dengan kondisi flow. Flow adalah keadaan di mana seseorang sangat terlibat dalam sebuah kegiatan, sehingga hal lain seakan-akan tak berarti lagi.
Dia menggambarkan hubungan antara eustress dan flow sebagai berikut:
“Orang agaknya dapat berkonsentrasi paling baik saat mereka sedikit lebih dituntut daripada biasanya, dan mereka juga dapat memberikan lebih dari biasanya. Jika tuntutan terlalu sedikit, orang akan menjadi biosan. Jika tuntutan terlalu besar untuk diatasi, mereka akan menjadi cemas. Flow terjadi di daerah genting antara kebosanan dan kecemasan.”
2. Konsep al-itsaarah al-wijdaaniyyah
Dalam khasanah Pendidikan Islam, konsep pembelajaran yang melibatkan emosi (perasaan) anak didik sesungguhnya sejalan dengan prinsip al-itsaarah al-wijdaaniyyah, yakni memberikan perangsang kepada perasaan. Membangkitkan rangsangan perasaan, adalah jalan yang terpendek untuk menanamkan suatu karakter kepada anak-anak dan pemuda. Perasaan itu terbagi menjadi tiga: Pertama, perasaan pendorong, yaitu rasa gembira, harapan, hasrat yang besar dan seumpamanya. Kedua, perasaan penahan, yaitu rasa takut (berbuat kejahatan), rasa sedih (berbuat kedzaliman) dan seumpamanya. Ketiga, perasaan kekaguman, yaitu rasa hormat dan kagum, rasa cinta, rasa bakti dan pengabdian.
Memberikan perangsang terhadap perasaan-perasaan ini, bila dilakukan secara tepat sesuai dengan tempat dan waktunya, akan menimbulkan kesan yang mendalam kepada anak didik. Sebab tiu, Allah swt menyebutkan dalam surat al-Fath ayat 8, bahwa Muhammad saw memiliki tiga sifat utama, yaitu: syaahidan, mubasysyiran, dan naziiran. Disamping memastikan siswa agar lebih banyak terlibat belajar dan terlibat, ikatan emosional juga sangat mempengaruhi memori dan ingatan mereka akan bahan-bahan yang dipelajari. Ilmuwan saraf, Dr. Joseph LeDoux,mengemukakan bahwa amigdala, pusat emosi otak, memainkan peran besar dalam penyimpanan memori.
3. Menjalin Hubungan, Rasa simPATI, dan Saling Pengertian.
Untuk menarik keterlibatan siswa dalam pembelajaran, guru hendaknya membangun hubungan, yaitu dengan menjalin rasa simPATI dan saling pengertian. Hubungan akan membangun jembatan menuju suasana yang lebih bergairah, membuka jalan masuk memahami dunia mereka, mengetahui minat, berbagai kesuksesan, dan berbicara dengan bahasa mereka. Membina hubungan bisa memudahkan guru melibatkan siswa dalam pembelajaran, pengelolaan kelas, dan meningkatkan kegembiraan.
Sikap mengedepankan “kemudahan” sangat relevan dengan kehadiran agama Islam bagi umat manusia. Dalam hubungannya dengan interaksi edukatif yang selalu bretumpu dan bermuara pada pencapaian tujuan: bertambah, berubah, dan berkembang secara terpadu ketiga unsur: kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketiga unsur yang merupakan orientasi tujuan universal ini, harus dijiwai oleh spirit “kemudahan dalam proses pembelajaran, sehingga dapat diserap oleh peserta didik.
Pada beberapa kesempatan, Nabi saw menjelaskan sesuatu secara global dengan tujuan untuk lebih mendorong orang-orang yang diajak berbicara supaya bertanya, dan beliau juga menginginkan agar orang-orang yang diajak berbicara tersebut ikut mengungkapkan pandangan-pandangannya. Setelah itu, barulah beliau menjelaskannya secara lebih rinci supaya penjelasan itu lebih kuat tertanam dalam jiwa mereka dan lebih memantapkan hafalan dan pemahaman mereka. Contohnya dalah sebagai berikut:
Bukhari meriwayatkan dari Abu Syuraih al-Khuza’iy ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Demi Allah swt, tidak akan beriman, demi Allah swt, tidak akan beriman, demi Allah swt, tidak akan beriman.” Lalu ditanyakan kepada beliau: “Siapakah (mereka yang engkau maksud tidak beriman), ya Rasulullah saw?” Beliau menjawab: “(Yaitu) Orang yang perilakunya menjadikan tetangganya tidak aman (nyaman).”
Di sini Nampak jelas bahwa kehadiran seorang pendidik harus selalu menjadi penyegar jiwa dan semangat pseserta didik.dia hendaknya selalu menunjukkan dan memberikan resep-resep yang mudah dalam interaksi edukatif, sehingga anak didik bisa meningkat prestasi belajarnya. Terkait dengan hal ini, Al-Ghazali menegaskan: “Pendidik hendaknya menggunakan strategi bertahap dalam meningkatkan kemampuan anak didiknya dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi dan membatasi materi yang disampaikannya sesuai dengan tingkat pemahaman dan kecerdasan anak. Pendidik hendaknya tidak mengajarkan apa yang belum bisa dicapai oleh kemampuan akal anak didiknya, supaya akalnya tidak mengalami keterkejutan (shock).
F. Melibatkan Semua Indera dan Pikiran
Dalam belajar, siswa hendaknya memanfaatkan indera sebanyak mungkin, dan membuat seluruh tubuh dan pikiran terlibat dalam proses pembelajaran. Pelatihan konvensional cenderung membuat orang tidak aktif secara fisik dalam waktu lama. Otak akan mengalami kelumpuhan dan belajar pun melambat atau bahkan berhenti sama sekali. Mengajak orang untuk bangkit dan bergerak secara berkala akan menyegarkan tubuh, meningkatkan peredaran darah ke otak, dan berpengaruh positif pada belajar.
Belajar berdasar aktivitas, secara umum jauh lebih efektif daripada yang didasarkan presentasi, materi dan media. Alasannya sederhana: cara belajar itu mengajak orang terlibat sepenuhnya. Telah terbukti berkai-kali bahwa biasanya orang belajar lebih banyak dari berbagai ativitas dan pengalaman yang dipilih dengan tepatdaripada jika mereka belajar dengan duduk di depan penderamah, buku panduan, telvisi ataupun komputer. Gerakan fisik meningkatkan proses mental. Bagian otak manusia yang terlibat dalam gerakan tubuh (korteks-motor) terletak tepat di sebelah bagian otak yang digunakan untuk berfikir dan memecahkan masalah. Oleh karena itu, menghalangi gerakan tubuh berarti menghalangi pikiran untuk berfungsi secara maksimal. Sebaliknya, melibatkan tubuh dalam belajar cenderung membangkitkan kecerdasan terpadu manusia sepenuhnya.
Dalam khasanah Pendidikan Islam, kesadaran tentang hal ini juga sudah terlihat. Misalnya, Dr. Muhammad Abdul Qadir Ahmad, menyebutkan beberapa hal pokok yang harus diperhatikan seorang guru dalam Pendidikan Islam. Pertama, adanya relevansi dengan kecenderungan dan watak anak didik, baik dari aspek inteligensinya, serta aspek sosial, ekonomi, dan status sosial orang tuanya. Kedua, memelihara prinsip-prinsip umum, seperti: berangsur-angsur dalam pengajaran dari yang mudah menuju yang sulit; berangsur-angsur dalam pengajaran dari yang jelas dan terperinci menuju pada yang lebih umum; berangsur-angsur dalam pengajaran dari yang konkret menuju yang abstrak; dan berangsur-angsur dalam pengajaran dari yang inderawi (kebenaran ilmiah) menuju pada yang ma’quli (kebenaran filsafat). Ketiga, memperhatikan perbedaan antar-individu, baik dilihat dari kemampuan, kepribadian, etika, inteligensi, watak, dan produktivitasnya.
Ungkapan yang lebih tegas lagi tentang pentingnya pelibatan semua indera dan pikiran dalam proses pembelajran dapat dikemukakan dalam kitab al-Irsyad wa al-Ta’lim. Pada salah satu alineanya dinyatakan, “Sangat mengherankan orang-orang pada umumnya senang terhadap anak-anak yang tidak banyak “ulah” dan tidak suka bermain. Mereka menganggap anak-anak seperti ini adalah cerdas dan baik. Mereka tidak menyadari bahwa anak-anak yang pendiam itu sangat mungkin sedang mengalami sakit (kelainan) fisik atau kejiwaan yang pada akhirnya nanti bisa mengganggu kehidupannya, kalau tidak segera diatasi dengan latihan fisik dan olah raga sejak kecil”.
Dalam kondisi normal, sebenarnya anak kecil adalah pembelajar yang hebat karena menggunakan seluruh tubuh dan semua indera untuk belajar. Tidaklah bisa dibayangkan seorang anak kecil mempelajari sesuatu sambil duduk di ruang belajar dalam jangka waktu yang lama. Yang tidak kita sadari adalah bahwa hal yang sama berlaku pula bagi kebanyakan orang dewasa. Belajar akan selalu terhambat jika kita memisahkan tubuh dan pikiran, mengabaikan tubuh, dan menekankan kesadaran rasional saja sebagai pintu gerbang menuju pikiran. Memang, pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh orang berdiri dan bergerak ke sana kemari. Akan tetapi, menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indera dapat berpengaruh besar pada pembelajaran.
Agar proses memahami materi dan membuat makna dalam pembelajaran ini berjalan dengna lancar, maka aktivitas dan proses pembelajaran hendaknya melibatkan semua jenis kecerdasan. Semua strategi yang telah dianjurkan di muka untuk setiap individu pembelajar juga akan berfungsi sama baiknya di kelas, khususnya jika guru memberi kelas kebebasan memilih strategi yang digunakan dalam kelompok. Selain itu, cobalah cara-cara berikut ini untuk mendorong kedalaman berpikir yang sebenarnya. Tujuannya adalah menciptakan suatu daur aktivitas dalam suatu periode waktu yang melibatkan sebanyak mungkin gaya belajar dan kecerdasan yang tepat dan yang mungkin.
1. Membuat Analogi.
Penggunaan analogi (amtsal atau metafora), bertujuan untuk memudahkan anak didik memahami suatu konsep. Dalam Al-Qur'an juga banyak digunakan metafora, misalnyafirman Allah swt tentang perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah swt digambarkan sebagai laba-laba yang membuat rumahnya yang sangat lemah.
مَثَلُ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوا مِنْ دُوْنِ اللهِ أَوْلِيَآءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوْتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوْتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوْتِ لَوْكَانُوْا يَعْلَمُوْنَ
( العنكبوت: 41 )
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (QS. Al 'Ankabuut [29]: 41)Mencari atau membuat persamaan adalah salah satu cara pengajaran Rasulullah saw. Cara ini biasanya beliau gunakan untuk menjelaskan suatu hal (makna) yang bersifat abstrak, dengan mengibaratkan pada hal-hal konkrit yang akrab dan biasa ditemui oleh para sahabat dalam kehidupan sehari-hari. Metode ini dipandang cukup memudahkan dan mempercepat pemahaman bagi mereka, terutama dalam menumbuhkan minat mereka untuk mengetahui hal-hal yang bersifat abstrak (maknawiyah). Para ulama balaghah telah menyatakan bahwa membuat persamaan (tasubih) memiliki pengaruh yang cukup besar dalam mengungkap makna-makna yang tersembunyi dan membuka pemahaman yang lebih detail.
Metode analogi biasa digunakan Rasulullah saw ketika mengajarkan masalah-masalah hokum, berikut sebab-sebab penetapannya. Hal ini demi menjadikan hukum tersebut dapat dipahami dengan benar, jelas dan tepat dalam pemahaman orang yang mempelajarinya (para sahabat), serta untuk menghindari kesalahpahaman mereka tentang suatu hukum. Oleh karenanya, metode atau strategi pengajaran beliau semacam itu dirasakan sangat efektif bagi para sahabat dalam mempelajari hukum-hukum syariat beserta tujuan-tujuannya.
2. Memvisualkan Ide, Gagasan, atau Kerangka Pemikiran.
Biasanya anak-anak jarang kekurangan ide, tetapi seringkali kekurangan struktur terorganisasi untuk mengungkapkan ide itu. Struktur tersebut akan bekerja dengan baik karena adanya fakta-fakta, kesimpulan-kesimpulan dan argumen-argumen yang disusun secara logis dan teratur. Semakin sering siswa menggunakan model visual, akan semakin mudah dia memahami dan mengingat informasi, karena siswa menggunakan kapasitas otak yang semakin besar disbanding kalau hanya mendengar saja.
Dalam penerapannya, siswa diminta membuat sebuah diagram alir untuk menggambarkan suatu mekanisme atau prosedur tertentu. Bisa juga dengan membuat sebuah diagram atau grafik, untuk melihat bagaimana perkembangan sebuah obyek. Intinya, gunakan bentuk-bentuk visual untuk menggambarkan daur dan proses seperti cuaca, ritme hormonal, atau bahkan kegiatan berpikir. Guru bisa mendorong seorang siswa untuk melakukan visualisasi, dan pada saat yang sama, belajar memahami lebih baik suatu topik dengan mengambil sebuah konsep sederhana dan menyuruhnya memaparkan gagasan tersebut, tanpa huruf atau angka. Anak didik mesti memikirkan maknanya untuk menemukan penggambaran visual yang tepat. Tekankan bahwa mereka bisa membuat suatu bagan cerita, suatu kerangka dokumenter dalam rentetan langkah-demi-langkah berupa gambar-gambar.
Metode pembelajaran yang menjelaskan sesuatu dengan cara menggambar juga biasa dilakukan oleh Rasulullah saw. Di antara beberapa hadits yang mengetengahkan hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (Musnad) dari Jabir dann Ibnu Mas’ud ra. dan Abu ‘Abdillah al-Marwaziy (al-Sunnah) dari Jabir dan Ibnu ‘Abbas ra., sebagai berikut:
Jabir pernah berkata: Ketika kami sedang duduk di dekat Nabi saw, beliau membuat garis di atas tanah persis di depan beliau duduk dengan menggunakan tangan beliau, kemudian bersabda: “Ini adalah jalan Allah ‘Azza wa Jalla. Lalu beliau membuat dua garis di sebelah kanannya dan dua garis disebelah kirinya, dan bersabda: ‘Ini semua adalah jalan-jalan syetan. Setelah itu beliau meletakkan tangannya di atas garis yang berada di tengah sambil membacakan ayat: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. 006. Al An'am [6]: 153)
3. Berpikir Mendalam.
Bagaimana Rasulullah saw menggunakan cara ini? Dalam suatu riwayat disebutkan beliau menggunakan metode ini untuk menyadarkan (memberi pemahaman) seseorang tentang suatu kebenaran yang bisa diungkap melalui cara berpikir logis. Salah satu contohnya adalah upaya beiau dalam meredam dan mengobati kecanduan berzina pada seorang pemuda.
Ahmad di dalam kitab Musnadnya meriwayatkan dari Abi Umamah al-Bahili, sebagai berikut:
“Sesungguhnya seorang pemuda telah dating kepada Rasulullah saw lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah saw, izinkanlah aku berbuat zina.’ Maka sekelompok orang mencela dan berkata: ‘Hentikanlah dan cegatlah dia.’ Rasulullah saw kemudian berkata (kepada pemuda itu): ‘Mendekatlah kepadaku.’ Pemuda itupun lalu mendekat dan duduk di hadapan Rasulullah saw. Beliau bertanya: ‘Apakah engkau senang jika zina itu terjadi pada ibumu?’ Pemuda itu menjawab: ‘Tidak, demi Allah swt wahai Rasulullah saw, lebih baik aku menjadi tebusannya. Beliau kemudian menjelaskan: ‘Siapapun tidak akan rela zina terjadi pada ibu mereka.’ Beliau bertanya lagi: ‘Apakah engkau rela bila zina terjadi pada anak perempuanmu?’ Pemuda itu menjawab: ‘Tidak, demi Allah swt wahai Rasulullah saw, lebih baik aku menjadi tebusannya. Beliau kemudian berkata: ‘Manusia manapun juga tidak akan rela jika zina terjadi pada anak perempuan mereka.’ Beliau lalu bertanya lagi: ‘Apakah engkau rela bila zina terjadi pada saudara perempuanmu?’ Dia menjawab: ‘Tidak, demi Allah swt wahai Rasulullah saw, lebih baik aku menjadi tebusannya.’ Beliau kemudian menjelaskan: ‘Siapa pun juga tidak akan rela apabila zina terjadi pada saudara perempuan mereka.’ Beliau lalu bertanya lagi: ‘Apakah engkau rela bila zina terjadi pada bibimu?’ Pemuda itu menjawab: ‘Tidak, demi Allah swt wahai Rasulullah saw, lebih baik Allah swt menjadikanku sebagai tebusannya.’ Beliau pun lalu menjelaskan: ‘Manusia manapun tidak akan rela apabila zina terjadi pada bibi mereka.’ Setelah itu beliau meletakkan tangan beliau di atas pundak pemuda tersebut seraya berdo’a: ‘Ya Allah swt, ampunilah dosanya, bersihkanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.’ Sejak itu, pemuda tersebut tidak berpaling kepada sesuatu pun (wanita manapun untuk berzina).”
Hadits di atas menjelaskan bagaimana Rasulullah saw menyikapi seorang pemuda yang telah mengidap ketergantungan terhadap perbuatan zina. Tanpa menyatakan dalil-dalil Al-Qur'an yang menjelaskan haramnya perbuatan zina, beliau sangat bijaksana mengajak pemuda tersebut berdialog, dan merangsang logikanya akan keburukan perbuatan zina. Kiranya, cara-cara beliau semacam itu dapat dirasakan sangat efektif dalam upaya menghentikan kebiasaan buruk (perbuatan zina) yang biasa dilakukan oleh pemuda tersebut, sesuai dengan pengetahuan dan daya nalarnya.
Oleh karena itu, setiap pengajar (guru) dianjurkan untuk menggunakan metode ini, yakni menggunakan pijakan akal dalam menemukan pemecahan suatu masalah. Hal ini sebagaimana telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw dalam member kesadaran kepada pemuda yang mengalami ketergantungan berbuat zina. Beliau menempuhnya hanya dengan mengajak pemuda tersebut berpikir logis tanpa harus membacakan dalil-dalil atau ayat Al-Qur'an.
G. Menyesuaikan Dengan Tingkat Kemampuan Siswa.
Proses pembelajaran bukan hanya mengalihkan pengetahuan kepada para siswa, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana mereka bisa membuat makna bagi diri mereka sendiri dalam memahami materi. Agar hal ini bisa terwujud, maka dalam proses pembelajaran, guru hendaknya memilih materi dan metode yang digunakan sesuai tingkat kemampuan anak didik. Prinsip pembelajaran ini bahkan diperintahkan Allah swt kepada para Nabi yang mengemban tugas mendidik manusia (umatnya), seperti sabda Rasulullah saw berikut:
نَحْنُ مَعَاشِرَ الْأَنْبِيَآءِ اُمِرْنَا اَنْ نُنْزِلَ النَّاسَ مَنَازِلُهُمْ وَنُكَلِّمُهُمْ عَلى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ
( رواه ابوبكر بن الشخير )
“Kami para Nabi diperintahkan untuk menempatkan seseorang pada posisinya, berbicara dengan seseorang sesuai dengan kemampuan akalnya.”Dalam aktivitas dan proses puengajaran yang dilakukan, Rasulullah saw sangat memperhatikan kondisi kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik. Beliau selalu memberikan pengajaran kepada mereka sesuai dengan kadar pemahaman dan kedudukan mereka, serta menjaga perasaan (menghargai) para pelajar pemula. Beliau tidak mengajarkan kepada pelajar pemula sesuatu yang beliau ajarkan kepada pelajar senior (advanced). Beliau juga pandai menjawab setiap pertanyaan sesuai dengan yang dikehendaki dan sesuai dengan keadaan orang bertanya.
H. Memberikan Pengalaman Sukses.
Pada umumnya seorang guru pasti akan merasa senang sekali ketika para siswaya dengan yakin mengacungkan tangan mereka untuk menjawab untuk menjawab pertanyaan dan ber partisipasi aktif, dan bukanya menahan diri dan bersikap ragu-ragu. Sebenarnya, setiap guru bisa merencanakan pembelajaran agar siswa aktif dan berpartisipasi dalam aktivitas kelas. Namun jangan lupa, rancangan pembelajaran itu bisa mengalami hambatan dan bahkan mengalami kegagalan. Lalu bagaimana caranya agar rancangan pembelajaran bisa meraih sukses? Ada dua faktor utama yang menentukan kesuksesan belajar siswa setiap saat, kesulitan pelajaran dan derajat risiko pribadi.
Untuk membantu siswa meraih sukses dalam setiap pembelajaran, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh guru. Pertama, pada saat dia menyampaikan materi pelajaran, sajikan dengan melibatkan multisensory, yakni menggunakan unsur visual, auditorial, dan kinestetik. Bila materi pelajaran cukup banyak, bagi bahan itu menjadi segmen-segmen (misalnya tiga atau empat segmen). Kemudian, sering-seringlah melakukan pengulangan sepanjang waktu belajar, gunakan pengulangan untuk memastikan disimpannya informasi di dalam pikiran siswa. Lalu, tambahkan kemajuan sederhana pada proses pembelajaran. Pada saat guru pertama kali mengajarkan informasi ini, pastikan untuk membuatnya multimodalitas. Potong menjadi segmen dan ulang berkali-kali. Ajarkan pertama kali pada kelompok besar (seluruh kelas).
Kedua, buat kelompok-kelompok kecil (keompok kerjasama, tim, atau pasangan) untuk pemantapan belajar. Ketiga, selesaikan secara perorangan (menjawab pertanyaan di depan kelas, pekerjaan rumah, tes atau kuis). Dengan demikian, siswa mendapatkan informasi dalam bentuk yang paling mudah, sambil mengambil risiko paling kecil dalam kelompok besar. Kemudian ketika guru memindahkan mereka ke kelompok kecil, risiko pribadi, sekalipun menjadi lebih besar karena mereka diperhitungkan satu-satu, tidak terlalu menekan karena mereka mulai mengenal materi pelajaran. Akhirnya, pada saat mereka tampil sendiri-sendiri, mereka masih mengambil risiko besar, tetapi mereka dapat mengatasinya karena merasa percaya diri, dan sudah menguasai materi.
Pada akhir kegiatan, guru dapat melangsungkan upacara pemberian hadiah. Amati bagaimana para siswa sekarang menggunakan imajinasi, logika, keterampilan linguistik, dan harus berfikir tentang bagaimana orang melihat berbagai hal. Ini adalah suatu bentuk atau rancangan pembelajaran yang menggunakan multi-sensori dan variasi teknik pembelajaran, sehingga bisa mendaya gunakan potensi multi-kecerdasanyang dimiliki siswa.
Pemberian reward banyak dicontohkan dalam Al-Qur'an, misalnya:
... يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ...
(المجادلة: 11)
“.....Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat......” (المجادلة: 11)
(QS. Al Mujaadilah [58]: 11)
الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
(الرعد: 28)
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (الرعد: 28)
(QS. Ar Ra'd [13]: 28)
Rasulullah saw sering pula memuji sahabat beliau, misalnya ketika para sahabat mampu menjawab petanyaan beliau atau melakukan aesuatu berdasarkan nalar dan ijtihadnya yang tidak menyimpang dari dari syariat. Hal ini beliau lakukan untuk menelusuri sejauh mana kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh mereka. Apabila mereka benar dalam menjawab (menguraikan penjelasan), beliau tidak segan-segan memuji dan menyanjung mereka. Biasanya, pengakuan Nabi saw akan kapasitas keilmuan seorang sahabat adalah dengan menepuk dadanya usai ia memberikan penjelasan. Hal itu sebagai pemberitahuan bahwa ia berhak mendapat cinta beliau dan beliau mengakui akan penjelasannya yang cukup baik.
I. Merayakan Hasil.
Mengadakan perayaan bagi siswa akan mendorong mereka memperkuat rasa tangung jawab dan mengawali proses belajar mereka sendiri. Perayaan akan mengajarkan kepada mereka mengenai motivasi hakiki tanpa “intensif”. Siswa akan menanti kegiatan kegiatan belajar, sehingga pendidikan mereka lebih dari sekedar mencapai nilai tertentu.
Dalam Al-Qur'an juga diberikan beberapa contoh tentang merayakan hasil ini.
إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوا رَبُّنَااللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوا وَلاَ تَخْزَنُوْا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِى كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ
( فصلت : 30 )
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fushshilat [41]: 30)Ayat di atas menjelaskan, bahwa Allah swt mempersilahkan kepada orang-orang yang konsisten dengan keimanannya kepada Allah swt untuk bergembira dengan kenikmatan surga yang telah disiapkan untuknya. Mereka juga akan menerima perlindungan malaikat yang diturunkan Allah swt untuk menjaganya, sehingga mereka tidak akan merasakan ketakutan dan kesedihan dalam hidup di dunia.
Merayakan kesuksesan hasil belajar anak bisa memacu semangat dan prestasi belajar mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, dan salah satunya, seperti yang dicontohkan Rasulullah saw, adalah dengan memberi hadiah. Memberikan hadiah, apapun jenis dan betuknya, adalah tindakan yang dapat menyenangkan hati, menambah semangat, menghilangkan kelesuan serta mendorong murid untuk lebih giat menambah ilmunya, dan masih banyak lagi manfaat-manfaat yang lain. Seorang guru harus bisa mempertimbangkan hal ini, apabila ia melihat kelesuan pada diri siswanya, ia harus berusaha merenungkan cata yang baik untuk member dorongan kepada siswanya.
Bentuk hadiah bermacam-macam, akan tetapi manfaatnya pun teteap diakui meskipun kadarnya berbeda, di antaranya yaitu:
1. Hadiah Materi
Buatlah hadiah yang paling mengesankan bagi anak didik, karena di dalamnya terdapat kepuasan tersendiri ketika memperoleh hadian itu. Riwayat berikut akan menunjukkan bagaimana Rasulullah saw melakukan hal itu.
Dari Abdullah bin Harits berkata: “Suatu kali Rasulullah saw menyuruh berbaris kepada Abdullah, Ubaidillah serta sekelompok yang lain dari Bani Abbas, kemudian beliau berkata: ‘Siapa yang lebih dulu sampai kepadaku, maka baginya adalah hadiah ini dan ini’.” Lalu Abdullah bin Harits berkata lagi, “Mereka lalu berlomba menu Rasulullah saw, sehingga di antara mereka ada yang memeluk punggung dan ada pula yang memeluk dada beliau, lalu beliau menepati janjinya (memberikan hadiah kepada pemenangnya).”
2. Hadiah dalam bentuk Do’a
Hadiah dalam bentuk mendo’akan anak didiknya supaya mendapat berkah, kebajikan, pertolongan, dan lain-lain, bisa juga dilakukan oleh guru. Cara ini mulia, tetapi sedikit guru yang melakukannya. Mengapa? Mungkin karena hal itu tidak disukainya, atau mungkin pula karena ia tidak tahu. Jika jawabannya ia memang tidak menyukainya, kenapa hal itu telah dilakukan oleh Rasulullah saw, dan jika jawabannya ia tidak tahu, maka inilah yang harus ia ketahui.
Dari Ibnu Abbas ra bahwasanya Nabi saw masuk kamar kecil, lalu aku meletakkan kepadanya air wudhu, beliau lantas berkata, “Siapa yang meletakkan ini?”. Lalu ia memberitahukannya. Kemudian Rasulullah saw berdo’a, “Ya Allah swt, berilah pemahaman bagi Ibnu Abbas perihal keagamaanya”.
3. Hadiah Pujian
Hadiah bisa pula berupa pujian, seperti ungkapan “bagus”, “baik”, dan lain-lain. Metode ini dapat menanamkan suatu keyakinan akan ilmu yang dimilikinya dan mendorong anak lain untuk memperoleh penghargaan yang sama. Contoh:
Ibnu Ka’ab berkata, Rasul saw bersabda:
“Wahai Abdul Mundzir! Apakah engkau mengetahui ayat Al-Qur'an yang paling mulia?” Ia berkata, saya menjawab: “Allah swt dan Rasul-Nya yag lebih tahu”. Beliau berkata lagi, “Wahai Abdul Mundzir! Apakah engkau mengetahui ayat manakah yang paling mulia?” Ia berkata, saya menjawab: “Allahu laa ilaaha illa huwal hayyul qayyum”. Ia berkata, lalu beliau memukul dadaku dan berkata, “Demi Allah swt! Bagimu adalah kemudahan ilmu, wahai Abdul Mundzir”.
An-Nawawi berkata, “Dalam hadits itu terdapat suatu kebajikan yang besar untuk bapakku, bukti atas ilmunya yang banyak, bentuk penghormatan terhadap sahabat serta diperbolehkannya memuji manusia asalkan demi kebaikan dan tidak kuatir ujub, hanya demi untuk kesempurnaan jiwa dan keteguhan takwa”.
* والله اعلم *
Dikutip dari: Buku Strategi dan Model-model Pembelajaran Aktif Menyenangkan karya Dr. H. Hamruni, M.Si Halaman: 71-113