Friday, January 28, 2011

Menumbuhkan Kepatuhan Anak

“Memaksakan pendapat secara kasar kepada anak, bukan merupakan cara efektif untuk menumbuhkan kepatuhan anak”


Keberanian anak mendurhakai orang tuanya kadang kala bukan kesalahan anak semata. Di sana ada andil orang tua. Orang tua sering tidak menyadari bahwa mereka telah membentuk sikap durhaka pada anak-anak mereka sendiri. Mereka lupa bahwa anak yang durhaka adalah korban salah asuh di saat anak masih dalam usia dini.
Terus, bagaimana seharusnya orang tua menanamkan ketaatan pada anak? Apakah dengna kekerasa, atau dengan ancaman dan hukuman.? Sahabat, dibawah ini akan dipaparkan beberapa petunjuk dan saran bagi para orang tua agar anak mau mentaati perintahnya sejak dini dan melenyapkan keinginan anak untuk melawan atau mendurhakainya.
a)    Wibawa Orang Tua.
Seringkali perintah orang tua dianggap sepi oleh anak-anaknya. Didengar pun tidak. Dalam hal ini kesalahan tidak mutlak pada anak. Sebaiknya orang tua segera sadar kemudian melakukan instropeksi diri. “Sudahkah kewibawaan aku miliki.?”
Untuk menumbuhkan kewibawaan orang tua, islam menawarkan suatu resep sederhana sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an surat Muzammil ayat: 2-5
“Bangunlah (untuk Sholat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. lebih dari seperdua itu. dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Kami akan menurunkan kapadamu ‘qaulan tsaqiila’ (Perkataan yang berat).” (QS. Muzammil[73]: 2-5)
Itulah janji Allah swt bagi orang yang mau melaksanakan sholat lail dan membaca Al-Qur'an dengna tartil dimalam hari. Allah swt menjanjikan ‘Qaulan tsaqiila’ atau perkataan yang berat (berwibawa).
b)   Hikmah Pendidikan Luqman
Ada baiknya orang tua mengambil hikmah dari pendidikan Luqman kepada anak-anaknya. Dalam mendidik kepatuhan, Luqman mengajarkan anak-anaknya agar terlebih dahulu mentaati Allah swt sebagaimana firman-Nya:
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah swt, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah swt) adalah benar-benar kezaliman yang besar’.” (QS. Luqman [31]:13)
Setelah menanamkan ketaatan mutlak kepada Allah swt, barulah luqman menyuruh anaknya untuk taat padanya. Itupun selama ketaatan pada orang tua tidak bertentangan dengan ketaatannya kepada Allah swt. QS. Luqman ayat 14-15 mengungkapkan ajaran Luqman kepada anaknya.
“dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman [31]: 14-15)
c)    Penjelasan Yang Bisa Dimengerti.
Beri penjelasan ringan sebatas kemampuan anak, mengapa suatu hal diperintahkan sedang hal yang lain dilarang. Jangan sekali-kali member keterangan dusta dalam hal ini.
Apabila anak dilarang terus menerus memecahkan piring, beri penjelasan. Misalnya, “Kita akan kehabisan piring sehingga harus makan memakai alas daun.” Ini lebih baik daripada dusta seperti, “Setan senang mengganggu anak yang suka memecahkan piring.”
d)   Sebatas Kemampuan.
Perintah yang di luar kesanggupan dan kemampuan anak boleh jadi akan menyebabkan krisis syaraf (neurotic) dan buruk perangai. Ada pepatah mengatakan, “Jika engkau ingin ditaati, maka perintahkanlah apa yang dapat dipenuhi.” Sebaiknya perintah itu dibagi-bagi dan tuntutan pelaksanaanya pun bertahap.
Perintah orang tua kepada anak berusia 8 tahun untuk senantiasa shalat 5 waktu ke masjid,  dan peri mengaji setiap usai maghrib, dengan diasuh seorang ustadz yang berperangai keras dan suka memukul, tentu tidak sesuai dengan kebutuhan psikologis anak yang di usia itu sedang senang-senangnya bermain. Jika orang tua memaksakan kehendaknya, bias jadi anak menurut, dengan resiko justru akan menumbuhkan rasa kebencian dan antipatinya terhadap islam, atau anak membangkang dengan cara berbohong dan mengembangkan perangai buruk lainnya.
e)    Kemarahan Anak.
Sesungguhnya, sikap suka membangkang dan marah anak-anak merupakan tiruan dari sikap orang tuanya. Ayah yang suka marah hanya karena masalah sepele, atau mendidik anak terlalu ketat untuk tunduk secara buta kepadanya adalah kebiasaan buruk orang tua pada umumnya. Perlakuan terlalu keras dalam mendidik anak sama saja dengan mendidik lewat cara menyepelekannya.
Kemarahan anak bisa diwujudkan melalui pembangkangan dan pemberontakan. Tetapi bisa juga diwujudkan dalam bentuk kemarahan terselubung, dimana mereka tetap menampakkan kepatuhan dan perangai baik, namun kemarahan yang mereka simpan meledak sewaktu-waktu, disaat yang tidakmenguntungkan bai orang tua.
f)     Jangan Bertentangan.
Gharizah atau naluri adalah kekuatan terpendam dalam diri manusia yang mendorongnya untuk melakukan beberapa pekerjaan tanpa berlatih terlebih dahulu.
Janganlah orang tua melarang anaknya bermain, atau membongkar dan memasang sesuatu. Jangan pula melanggar kebiasaan anak-anak kalau tidak ingin mereka menggunakan jerit tangis sebagai senjatanya.
Lebih baik gharizah itu diarahkan sedemikian rupa sehingga anak bisa mengatur dirinya sendiri. Misalkan diberi perintah, “hari ini Maghrib pukul 18.00, sekaran gsudah jam 17.30, terserah kamu kapan kamu akan berhenti bermain, yang penting saat adzan nanti kamu sudah mandi.”
Dalam ungkapan itu tidak ada larangan terhadap untuk bermain. Juga tidak melanggar kebiasaan mereka bermain disore hari. Tetapi pemberian “masa terbatas” agar anak dapat mengatur jadwal kegiatannya sendiri akan sangat menolong untuk melatih anak disiplin waktu. Selain itu mereka merasa dianggap mampu untuk mengatur dirinya sendiri tanpa harus didikte begini dan begitu.
g)   Ancaman Yang Salah.
Kesalahan yang banyak dilakukan orang tua adalah member ancaman kepada anak dengan sesuatu yang seharusnya berguna baginya. Itu dilakukan hanya karena menginginkan anaknya segera memenuhi perintah mereka.
Misalkan menakut-nakuti anak tentan gpolisi, suntikan, dan sebagainya. Ketakutan yang tercipta pada bayangan si anak akan sulit dihilangkan, akibatnya hal-hal yang berguna itu akan ia takuti sampai mereka dewasa.
h)   Tidak Dusta.
Aisyah ra. Menceritakan sebuah kisah, ketika Rasulullah saw bertemu dengan seorang wanita yang sedang membujuk anaknya dengan berkata, “Kemarilah nak, nanti akan aku berikan kurma kepadamu.” Mendengar bbujukan tersebut, Rasulullah saw pun mengingatkan kepada si wanita, “Apakah benar-benar engkau akan memberikan kurma kepada anak kecil itu? Jika tidak, cukuplah hal itu akan tercatat sebagai dusta bagimu.”
Namun dalam kenyataan, banyak ibu-ibu atau orang tua membujuk anaknya agar patuh dengan “iming-iming” akan diberikan sesuatu (permen, es, mainan, etc.). tetapi setelah anak mau mematuhi keinginan orang tua, “ujug-ujug” alias tiba-tiba janji dibatalkan secara sepihak. Tentu saja dengan beragam alasan yang dikemukakan orang tua. Awalnya anak mau untuk patuh, itu karena mereka belum mengetahui, akan tetapi setelah terbiasa dibohongi, anak akan kehilangan kepercayaan terhadap orang tuanya, dan ini akan memberikan akibat yang berbahaya nantinya. Maka jangan heran jika nantinya anak menjadi suka berbohong atau “durhaka” pada orang tua. Karena anak belajar dari apa yang orang tua ajarkan.
i)     Istiqomah.
Penting untuk bisa konsisten atau beristiqomah dalam menetapkan aturan, dan tidak cepat mengalah dalam menghadapi rengek dan tangis anak. Usahakan tidak “meladeni” kemauan anak selama tidak ada alas an yang bisa ditolerir. Lama kelamaan anaka akan sadar bahwa ia tak bisa menggunakan senjata tangis untuk merayu ibunya. Tetapi ia harus berusaha lebih dahulu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Jangan pula menerapkan perubahan aturan tanpa pertimbangan matang. Misalnya suatu saat orang tua melarang anak berbuat sesuatu hal, tetapi dilain waktu mengabaikan kembali larangan yang sama. Apalagi memberikan hadiah di suatu saat tetapi disaat lain memberikan hukuman untuk sesuatu hal yang sama. Hal ini dapat menyebabkan anak mempunyai jiwa tegang penuh kebimbangan, dan dapat melunturkan rasa kepercayaaan terhadap kedua orang tuanya.


Istadi, Irawati, Mendidik Dengan Cinta, Bekasi: Pustaka Inti, 2008

No comments:

Post a Comment