Monday, April 22, 2024

KISAH PAKU DAN SEBATANG BALOK KAYU

 

Alkisah, tersebutlah seorang murid yang memiliki sifat temperamental, mudah marah dan kesulitan mengendalikan dirinya. Dia selalu mengalami kesulitan untuk mengontrol emosinya, bahkan selalu mudah marah dan berkata kasar hanya untuk kesalahan-kesalahan kecil orang lain yang membuatnya tersinggung. Hingga pada suatu hari ia dipanggil oleh gurunya. Sang guru merasa berkewajiban untuk menasehati dan menjadikan murid ini lebih baik akhlaknya, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.


Oleh sang guru, ia diminta untuk menyiapkan sebatang balok kayu, palu dan paku. Dan dengan pendekatan serta sentuhan hati yang tulus, guru itu pun meminta kepadanya, agar setiap kali ia marah, ia harus menancapkan satu buah paku ke balok kayu dengan menggunakan palu yang sudah disiapkan. Berapa kali pun marah, ia harus melakukan hal tersebut dengan paku-paku yang baru. Ia pun menerima nasihat dari gurunya dan bersedia melakukannya.


Keesokan harinya, ia kembali dipanggil oleh sang guru di sekolah, dan ditanya, “dari kemarin sampai pagi ini sudah berapa buah paku yang engkau tancapkan di atas balok kayu itu?” Ia menjawab, “dua puluh, guru” jawabnya sambil menunduk malu. Dalam hati ia menyadari, ternyata hampir setiap satu jam ia marah kepada orang lain. Sang guru pun tidak berkomentar apa-apa, dan memintanya untuk kembali lagi minggu depan serta berpesan untuk terus melanjutkan kegiatan itu.

Satu minggu berlalu dan saatnya sang guru memanggilnya kembali. Dengan wajah berseri-seri, ia menghadap kepada gurunya dan berkata “terima kasih guru, karena nasihat yang guru berikan, yang tadinya satu hari saya menancapkan 20 buah paku, pelan-pelan mulai berkurang, dan dari kemarin hingga pagi ini saya sama sekali tidak menancapkan paku lagi”. Dan sang guru pun menjawab “bagus sekali nak. Kalau begitu, tugasmu selanjutnya adalah, setiap kali engkau berhasil menahan amarahmu, maka cabutlah satu paku yang engkau tancapkan sebelumnya. Setiap hari seperti itu, nanti engkau boleh kembali lagi setelah engkau berhasil mencabut semua paku di balok kayu itu”.

Hari demi hari berlalu, berganti minggu dan beberapa bulan kemudian murid itu pun kembali menghadap gurunya dengan wajah yang berseri-seri tetapi penuh dengan rasa penasaran. “Guru, saya telah mencabut semua paku seperti yang guru nasihatkan, setiap kali saya bisa mengendalikan amarah saya, dan saat ini semua paku sudah berhasil saya cabut” lapornya.

“Luar biasa sekali anakku. Tentu tidak mudah bagimu untuk melakukan apa yang aku sarankan. Dan sekarang, bolehkan aku bertamu ke rumahmu dan melihat paku-paku dan balok kayu itu?” Ia menjawab dengan cukup penasaran

“baiklah guru, tapi kalau boleh tahu, untuk apa guru melihat paku-paku dan balok kayu itu?” “Nanti kamu juga akan tahu” jawab sang guru.


Kemudian guru dan murid itu pun beriringan menuju ke rumah sang murid dan kemudian melihat balok kayu yang sudah bersih dari tancapan paku, tetapi balok kayu itu terlihat buruk karena bekas-bekas lubang paku yang dicabut. Lalu sang guru berkata “anakku, engkau sudah melakukan hal yang luar biasa dengan menahan amarahmu. Tapi engkau juga harus tahu, bahwa ada akibat yang engkau timbulkan dari amarahmu selama ini. Ketika engkau marah dan meluapkan emosimu dengan mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati orang lain, maka hal itu seperti kiasan paku yang menancap di balok kayu ini. Tidak ada bedanya kemarahan yang disengaja, maupun kemarahan yang spontan, semuanya sama-sama berakibat buruk bagi orang lain” kata sang guru dengan penuh bijaksana.


“Anakku, tidak cukup bagimu hanya menyesali, meminta maaf dan memohon ampunan kepada Allah Swt. atas apa yang pernah engkau perbuat. Permintaan maafmu kepada orang yang pernah engkau sakiti, ibarat engkau mencabut paku-paku itu dari balok kayu. Pakunya bisa dicabut, tetapi bekas lubang pakunya tidak bisa hilang. Demikian juga dengan sakit hati, barangkali orang lain bisa memaakan, tetapi belum tentu ia bisa melupakan apa yang pernah kita lakukan kepadanya. Oleh karena itu, janganlah engkau meremehkan kata-kata buruk, emosi dan kemarahanmu kepada orang lain, karena luka yang disebabkan oleh kata-kata, sama sakitnya dengan luka isik yang kita alami” pungkas sang guru. Murid itu pun menunduk dan menyadari sifat temperamental yang ia miliki selama ini, ternyata berdampak buruk bagi orang lain dan merugikan dirinya sendiri, dan ia pun berjanji untuk menjadi orang yang lebih baik dengan mengendalikan amarah dan emosinya dalam kehidupan berikutnya. (Dinarasikan kembali dari rumahinspirasi.com)

No comments:

Post a Comment