ASURANSI SYARIAH
Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi syariah atau juga dikenal dengan asuransi takaful yaitu
berasal dari bahasa Arab dari kata dasar takafala, Yatakafalu, Kuflan ( تكافل – يتكافل – كافلا ) yang artinya saling menanggung atau menanggung bersama.
Menurut istilah asuransi syariah atau takaful adalah pengaturan risiko yang
memenuhi ketentuan syariah, tolong menolong (symbiosis mutualisme) yang
melibatkan peserta asuransi dan pengelola, serta berdasarkan pada ketentuan
Al-Qur`an dan sunah.
Sedangkan asuransi syariah menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 ini adalah kumpulan perjanjian antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi syariah dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling tolong-menolong dan melindungi.
Sejarah Asuransi Syariah
Perusahaan asuransi yang pertama kali berdiri di Indonesia
diprakarsai oleh pemerintah Hindia Belanda bergerak di bidang asuransi sektor
perkebunan yang bernama Bataviasche Zee End Brand Asrantie Maatscappij pada
tahun 1843. Asuransi tersebut mencakup segala risiko yang diakibatkan oleh
kebakaran dan risiko kecelakaan pada saat pengangkutan hasil perkebunan.
Berturut-turut kemudian berdirilah perusahaan-perusahaan asuransi lain, namun
setelah penjajahan Jepang, perekonomian Indonesia mengalami kekacauan sehingga
banyak perusahaan asuransi yang bangkrut.
Adapun perusahaan asuransi syariah pertama yang lahir di
Indonesia, diawali dari kepedulian yang tulus dari Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI). ICMI bekerja sama dengan PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri,
Bank Muamalat Tbk., Departemen Keuangan RI dan beberapa pengusaha muslim
Indonesia, dengan bantuan teknis dari Syarikat Takaful Malaysia, Bhd. Kemudian
melalui Tim Pembentuk Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI) didirikanlah PT
Syarikat Takaful Indonesia (Takaful Indonesia) pada tanggal 24 Februari 1994
yang diresmikan oleh Menristek/Kepala BPPT BJ Habibie sebagai perusahan
perintis pengembangan asuransi syariah yang pertama di Indonesia.
Dasar Hukum Asuransi Syariah
Hukum Asuransi dalam Al-Qur`an dan Hadis
Surat al-Maidah Ayat 2
..... ۘ وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا
تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ ..... ...
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”
Hadis Riwayat Muslim dari Abu Hurairah RA
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad Saw bersabda:
Barang siapa yang menghilangkan kesulitan duniawi seorang mukmin, maka Allah
Swt. akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang
mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah Swt. Akan mempermudah urusannya di
dunia dan di akhirat” (HR. Muslim).
Hukum Asuransi Menurut Para Fuqaha
Perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih tentang hukum
asuransi, sejak pertama kali dikaji hingga saat ini, masih terus berlanjut. Ada
golongan ulama fikih yang menyatakan hukum asuransi itu mubah, sementara
golongan yang lain menyatakan haram.
Dan perbedaan pendapat tentang asuransi itu pun juga tidak lepas
pada pembahasan mengenai status hukum asuransi syariah atau takaful. Bahkan di
Indonesia ada yang menyatakan baik asuransi konvensional maupun asuransi
syariah, keduanya sama-sama haram. Alasannya adalah karena pertimbangan adanya
aspek riba dan gharar (transaksi bisnis yang mengandung ketidakpastian).
Para ahli fikih klasik, tidak ada yang membahas tentang
persoalan asuransi. Sehingga tidak ditemukan dalil yang melarang praktik
asuransi. Hal itulah kemudian yang menjadi alasan golongan ulama fikih
membolehkan asuransi karena berpegang pada kaidah ushul fikih: hukum asal
sesuatu adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Di sisi lain ada pendapat ketiga yang disampaikan oleh para
ulama fikih kontemporer yang menyatakan bahwa asuransi terbagi menjadi dua
macam yaitu asuransi tijari atau asuransi yang bersifat komersil dan profit
oriented maka hukumnya haram. Alasannya pada asuransi tijari ini terdapat
praktik riba dan gharar. Dan yang kedua adalah asuransi ta’awuni atau tabarru’,
yang merupakan asuransi sosial dan landasannya adalah tolong menolong sehingga
para ulama bersepakat, hukum asuransi ini mubah atau boleh.
Hukum Asuransi Syariah di Indonesia
Fatwa MUI Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tersebut mempertegas kehalalan
asuransi syariah yang di antaranya mengatur tentang prinsip umum dan akad
asuransi syariah. Dengan demikian jaminan perlindungan/takaful yang ditawarkan
melalui program asuransi syariah ini jelas hukumnya halal sesuai dengan fatwa
yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Rukun, Syarat dan Larangan Asuransi Syariah
Rukun Asuransi Syariah
1.
Kafil;
yaitu orang yang menjamin (baligh, berakal, bebas berkehendak,
tidak tercegah membelanjakan hartanya).
- Makful
lah;
yaitu orang yang berpiutang disarankan sudah dikenal oleh kafil.
- Makful
‘anhu;
yaitu orang yang berhutang.
- Makful
bih;
yaitu utang, baik barang maupun uang disyaratkan diketahui dan
jumlahnya tetap.
Syarat dan Larangan Asuransi Syariah
1.
Baligh
2.
Berakal
3.
Bebas
berkehendak (tidak dalam paksaan)
4.
Tidak
sah transaksi atas sesuatu yang tidak diketahui (gharar)
5.
Tidak
sah transaksi jika mengandung unsur riba
6.
Tidak
sah transaksi jika mengandung praktik perjudian (maisir)
Unsur-Unsur Asuransi Syariah
1.
Pihak
tertanggung
2.
Pihak
penanggung
3.
Akad
atau perjanjian asuransi
4.
Pembayaran
iuran (premi)
5.
Kerugian,
kerusakan atau kehilangan (yang diderita tertanggung)
6.
Peristiwa
yang tidak bisa diprediksi
Tujuan Asuransi Syariah
Tujuan asuransi syariah adalah untuk melindungi peserta asuransi
dari kemungkinan terjadinya risiko yang tidak bisa diprediksi.
Prinsip Asuransi Syariah
1.
Tauhid
2.
Keadilan
3.
Ta’awun
(tolong-menolong)
4.
Kerjasama
5.
Amanah
(trustworthy)
6.
Kerelaan
(ridla)
7.
Larangan
praktik riba
8.
Larangan
praktik gharar
9.
Larangan
praktik judi (maisir)
Manfaat Asuransi Syariah
1.
Merupakan
cerminan dari perintah Allah Swt. dan Rasulullah Saw. Untuk saling tolong
menolong alam kebaikan
2.
Menumbuhkan
rasa persaudaraan dan kepedulian antar sesama anggota
3.
Melindungi
diri dari praktik-praktik muamalah yang tidak bersyariat
4.
Memberikan
jaminan perlindungan dari risiko kerugian yang diderita oleh hanya satu pihak
5.
Efisien,
dikarenakan tidak perlu lagi mengalokasikan biaya, waktu dan tenaga tersendiri
untuk memberikan perlindungan diri
6.
Sharing
cost, yaitu cukup hanya dengan membayar biaya dengan jumlah tertentu, dan tidak
perlu membayar sendiri jumlah biaya kerugian yang timbul karena sesuatu yang
tidak bisa diprediksi.
7.
Menabung,
karena premi yang dibayarkan kepada pihak asuransi, pada saat jatuh tempo akad
selesai, maka uang tersebut akan dikembalikan kepada peserta asuransi.
No comments:
Post a Comment